LOGISTIKNEWS.ID – Biaya logistik di Indonesia terus meningkat dan layanan distribusi barang terhambat lantaran truk pengangkut barang dan logistik di sejumlah wilayah Indonesia kesulitan memperoleh bahan bakar minyak (BBM) yang diatur melalui aplikasi My Pertamina.
Pasalnya, hampir seluruh SPBU wilayah pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan telah terjadi kelangkaan BBM Bio Solar dan adanya pembatasan pembelian BBM Bio Solar per hari, padahal kuota yang diatur dalam aplikasi My Pertamina belum melewati batas pembelian per hari.
“Kondisi seperti ini sudah berlangsung sebulan terakhir ini, dan berdampak pada hambatan distribusi barang hampir di seluruh wilayah Indonesia sehingga cost logistik melambung tinggi,” ujar Ketua Umum DPP Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Gemilang Tarigan, pada Jumat (22/12/2023).
Dia mengatakan, DPP Aptrindo menerima banyak keluhan yang disampaikan langsung para pengusaha truk di seluruh Indonesia mengenai kendala dilapangan dalam mendapatkan BBM Bio Solar tersebut.
Bahkan, ungkap Gemilang, kondisi faktual di Kalimantan Timur bukan hanya kelangkaan BBM Bio Solar saja, akan tetapi BBM Pertalite juga mengalami kelangkaan.
“Kondisi ini berimbas kendaraan angkutan barang/truk harus rela antri berhari-hari,” ucapnya.
Dia menjelaskan, aplikasi My Pertamina sebagai alat kontrol dalam pembelian BBM bersubsidi khususnya Bio Solar.
“Namun dilapangan ditemukan banyak sekali masalah diantaranya karena justru digunakan oleh para oknum petugas SPBU untuk mencari keuntungan pribadi dengan memalsukan pembelian BBM Bio Solar menggunakan My Pertamina pihak lain,” ujar Gemilang.
Masalah juga terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, dimana pembelian BBM Bio Solar bukan untuk kendaraan yang berhak mendapatkan Subsidi.
Berdasarkan temuan anggota Aptrindo di wilayah itu, kata dia, ada indikasi BBM Bio Solar dibeli oleh para oknum penjual BBM illegal yang selanjutnya disalurkan ke Industri/Perkebunan/Pertambangan.
“Kondisi ini menandakan pengaturun penyaluran BBM bersubsidi tidak tepat sasaran,” ujar Ketum Aptrindo.
Sehubungan dengan berbagai persoalan itu, DPP Aptrindo mendesak Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) untuk segera melakukan action konkret mengatasi kendala para pengusaha truk yang notabene salah satu komponen penting dalam jaringan distribusi logistik nasional.
Untuk itu, Aptrindo juga telah menyampaikan sikap resminya Kepala BPH Migas Erika Retnowati melalui surat pada 22 Desember 2023.
Ada lima point krusial tuntutan Aptrindo yang perlu mendapatkan perhatian serius dan di tindaklanjuti oleh BPH Migas.
Pertama, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) sebagai sebuah organisasi non profit yang berbadan hukum resmi dan menjadi mitra kerja Kementerian Perhubungan Republik Indonesia serta menjadi anggota luar biasa Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), dimana mayoritas utama anggota APTRINDO adalah pengusaha truk pengguna utama BBM Bio Solar sangat dirugikan atas kondisi realitas dilapangan sulitnya dalam mendapatkan BBM Bio Solar. Kondisi ini bukan hanya menggangu kinerja distribusi logistik tetapi juga akan berpengaruh terhadap biaya logistik.
Kedua, Para pelaku usaha angkutan barang yang sangat bergantung pada BBM Bio Solar, mendorong dan mendukung sepenuhnya kepada pemerintah dalam hal ini melalui BPH Migas untuk menaikkan harga eceran BBM Bio Solar sehingga selain untuk mengurangi beban Subsidi pemerintah, juga untuk mencegah penyelewengan BBM Bersubsidi Bio Solar dikarenakan saat ini disparitas harga antara BBM Bersubsidi Bio Solar dengan BBM Solar Industri sangat tinggi.
Ketiga, Aptrindo melihat saat ini bahwa BPH Migas sebagai badan yang dibentuk oleh pemerintah, memposisikan sebagai lembaga yang eksklusif, tidak terbuka atau mau membuka diri mendengar masukan dari Masyarakat. Hal ini sangat disayangkan bahwa sebuah Badan bentukan pemerintah tidak pernah mau mendengar, menyerap informasi atau aspirasi dari masyarakat khususnya pengguna produk yang diatur. Statement yang disampaikan oleh para pejabat BPH Migas selama ini juga terkadang tidak melihat fakta dan kenyataan yang benar dilapangan khususnya ketersediaan BBM Bio Solar di SPBU.
Keempat, Persoalan kelangkaan BBM Bersubsidi khususnya Bio Solar ini menjadi sebuah kejadian perulangan hampir setiap memasuki kuartal akhir tahun dengan isue yang berkembang yaitu Kuota Subsidi hampir habis atau sudah habis. Hal ini tentunya menunjukkan kegagalan peran BPH Migas dalam melakukan fungsi dan tugasnya seperti yang telah diatur dalam UU MIGAS No. 22 Tahun 2001.
Kelima, meminta BPH Migas menunjukkan keseriusannya dalam mengatur tata Kelola distribusi BBM Bersubsidi khususnya BBM Bio Solar diseluruh tanah air, agar masyarakat pengguna tidak merasa dipermainkan oleh kebijakan pemerintah. Seperti penggunaan aplikasi My Pertamina yang tidak efektif dalam memonitor penyaluran subsidi BBM.[redaksi@logistiknews.id]